Tentang Rumangsa dan Lapas Posted in: Journal
Kemampuan untuk bisa rumangsa atau dalam bahasa Indonesia ‘merasa’ sekarang ini sudah semakin luntur. Rasa kemanusiaan untuk turut merasa, berempati dengan sekitar kita mulai hilang. Rumangsa membuat kita hidup sebagai manusia yang memiliki kepedulian dan penting untuk terus dirawat. Namun, beberapa waktu kemarin kami menemukan rasa rumangsa di tempat yang tidak kami pernah duga, di dalam lapas tahanan.
Bersama teman brand kami Setitik kami memberikan pelatihan warna alam dan batik untuk narapidana. Di balik kokohnya dinding bangunan warisan kolonial Belanda yang kini menjadi lembaga pemasyarakatan, kami ingin membawa tujuan menghubungkan seni dengan proses pemulihan. Di balik lapas dengan latar bangunan heritage di dalamnya akan selalu ada ruang untuk perubahan dan perbaikan diri bagi narapidana. Bagi kami, semua berhak atas kesempatan kedua. Kesempatan untuk jadi lebih baik.
Kami turut merasa, hal terbesar yang kami peroleh dari pelatihan di balik lapas adalah bahwa ternyata pembelajaran bukan hanya milik narapidana. Kami pun juga belajar: tentang keteguhan, keinginan untuk memperbaiki diri. Kami senang pewarnaan alam dan batik membawa kami menemukan kemampuan rumangsa sebagaimana menjadi manusia. Maka seharusnya memang benar “Aja rumangsa bisa, tapi bisa rumangsa.” — “Jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa.”












Photography: Awan Ardiyanto
Text: Vincentius Adi Kristanto